Kepiluan Setiap Pemilu: Spesialisasi


Inspirasi tulisan ini berawal dari diskusi saya di grup WA kawan-kawan alumni Jamaah Masjid Manarul Ilmi, sebuah unit kegiatan kemahasiswaan di kampus ITS. Saya masuk grup itu karena saat kuliah di kampus teknologi itu memang aktif di berbagi kegiatan kemahasiswaan. Salah satunya adalah di organisasi kemahasiswaan yang disingkat JMMI itu.

Diskusi selepas subuh ini adalah tentang calon wali kota Surabaya. Karena banyak kawan-kawan warga grup  yang tinggal di Surabaya, muncul diskusi siapa yang kira-kira pantas dicalonkan menjadi kandidat kursi yang sebentar lagi akan ditinggalkan oleh Bu Risma yang juga alumni ITS itu. Salah satu yang dicalonkan grup ini adalah Cak Ghozi. Ini yang memicu sepuluh jemari saya melukiskan kepiluan ini.

Jean-Paul Agon

Jean Paul Agon: menekuni dunia kosmetik puluhan tahun. Foto dari http://www.loreal.ca

Mengapa pilu? Pilu karena mindset yang tidak menghargai spesialisasi. Cak Ghozi adalah orang yang selama ini menekuni dunia perbankan syariah. Dia adalah direktur utama BPRS Lan Tabur. Sebuah bank syariah yang sahamnya dimiliki oleh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Karena secara rutin ikut rapat direksi bank berkantor pusat di Jombang ini sebagai sparring partner manajerial dari SNF Consulting, saya faham betul peluang dan potensi bank ini untuk dikembangkan menjadi bank syariah besar yang mampu melayani masyarakat luas di berbagai penjuru. Cak Ghozi lah “koki” untuk pekerjaan besar jangka panjang itu.

Pekerjaan saya menuntut agar tiap hari adalah memelototi sejarah dan strategi berbagai perusahaan. kesimpulan saya, untuk menjadi besar, sebuah perusahaan butuh orang-orang hebat yang menekuni pekerjaannya di perusahaan tersebut puluhan tahun. Salah satu contoh adalah si Jean Paul Agon, CEO perusahaan kosmetik terbesar dunia L’Oreal. Baca link tersebut untuk memahami bagaimana sebuah perusahaan membutuhkan orang-orang hebat yang bekerja all out dalam puluhan tahun untuk tampil menguasai dunia.

Nah, Jika saja Cak Ghozi benar-benar terprovokasi dan kemudian tergerak mencalonkan diri, kepiluan itu akan makin menjadi-jadi. Bukan saja karena Cak Ghozi. Tetapi juga karena di grup itu misalnya saja ada Cak Yanto, orang yang sejak kuliah sudah aktif di PKS dan sudah 3 periode menjadi anggota DPRD Surabaya. Mestinya orang seperti dia lah yang dijagokan  menjadi cawali. Orang yang memang sejak awal memilih karir sebagai politisi seperti Bung Karno. Jika cak Ghozi yang tidak pernah aktif di politik “dikarbit” untuk menjadi cawali, terus bagaimana karir politik orang seperti Cak Yanto yang telah menekuni dunia politik belasan tahun? Partai sebagai tempat kaderisasi politisi terbabat oleh politisi karbitan dari bidang lain. Baca link saya tentang tokoh politik full time proklamator negeri ini.

Saya suka sekali menggambarkan kepiluan itu dengan kesebelasan sepak bola. Untuk menang sebelas pemain harus ditata dengan tugas masing-masing. Keeper harus fokus menghadang bola agar gawangnya tidak kebobolan. Sricker harus fokus menendang bola membobol gawang musuh. Jangan sampai keeper ikut-ikutan menendang bola membobol gawang musuh. Kesebelasan akan kacau dan kalah.

Dunia kedokteran juga menjadi analogi yang baik. Seorang dokter THT tidak akan  melakukan operasi jantung. Seorang dokter mata tidak akan melakukan pembiusan. Seorang dokter radiologi tidak akan melakukan bedah caesar. Semua ada tugasnya masing-masing. Dengan demikian sebuah rumah sakit sukses melayani masyarakat luas.

Pemilu 2019 ini saya pilu karena ada beberapa sahabat yang mestinya sangat berpotensi berkontribusi besar dalam dunia bisnis tergoda untuk ikut berkompetisi di politik. Ada cak Leo Herlambang yang sebelumnya direktur utama Petrogas. Ada cak Misbahul Huda yang sebelumnya malang melintang di perusahaan-perusahaan grup Jawa Pos dibawah asuhan suhu Dahlan Iskan. Mestinya orang-orang seperti ini diproteksi untuk tetap setia di bidang bisnis seperti Jean Paul Agon. Pebisnis jangan tergoda menjadi politisi. Agar bangsa ini memiliki perusahaan-perusahaan penguasa pasar dunia seperti L’Oreal itu.

Saya jadi teringat perlajaran bahasa Indonesia di SMP dulu. Pelajaran tentang fungsi awalan “pe”. Pe + putih menjadi pemutih yang berarti menjadikan putih. Pe + padat menjadi pemadat, membuat sesuatu menjadi padat. Pe+ panjang menjadi  pemanjang, membuat sesuatu menjadi panjang. Pe+pilu menjadi pemilu, membuat sesuatu menjadi pilu. Pemilu menjadikan sesuatu menjadi pilu. Haruskah demikian? Haruskah setiap Pemilu kepiluan itu muncul dan muncul lagi? Semoga pemilu kedepan tidak lagi membuat saya menjadi pilu. Agar umat dan bangsa ini kuat. Agar  perusahaan-perusahaan kita tampil menjadi pemain dunia seperti L’oreal. Amin.

Diskusi lebih lanjut? Gabung Grup Telegram  atau Grup WA SNF Consulting

***Ditulis pada tanggal 10 Juli 2019 oleh Iman Supriyono,  konsultan senior dan direktur SNF Consulting, http://www.snfconsulting.com

1 responses to “Kepiluan Setiap Pemilu: Spesialisasi

  1. Pe+pilu terus akan melahirkan pilu disaat ideologi kapitalisme yang Sekuler kapitalistik masih menjadi konsep bernegara di negeri ini. Percayalah kembali kepada Islam & sistemnya, Syariah Khilafah sebagai solusi sistemik bagi kebaikan negeri ini.

Tinggalkan komentar